Perbedaan Desa dengan Kelurahan dan
perangkat desa
v
DESA
Arti Desa
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat
setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Fungsi Desa
Fungsi desa adalah
sebagai berikut:
§ Desa sebagai hinterland (pemasok
kebutuhan bagi kota)
§ Desa merupakan sumber
tenaga kerja kasar bagi perkotaan
§ Desa merupakan mitra
bagi pembangunan kota
§ Desa sebagai bentuk
pemerintahan terkecil di wilayah Kesatuan Negara Republik Indonesia
Perangkat Desa
Perangkat Desa bertugas membantu Kepala
Desa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Perangkat Desa terdiri dari
Sekretaris Desa dan Perangkat Desa Lainnya. Salah satu perangkat desa adalah Sekretaris Desa, yang diisi dari Pegawai Negeri
Sipil.
Sekretaris Desa diangkat oleh Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota atas nama
Bupati/Walikota. Perangkat Desa lainnya diangkat oleh Kepala Desa dari penduduk
desa, yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa. perangkat desa juga
mempunyai tugas untuk mengayomi kepentingan masyarakatnya.
Ø
Ciri – ciri Desa
Desa adalah suatu wilayah
yang jumlah penduduknya kurang dari 2.500 jiwa dengan cirri-ciri sebagai
berikut
1. Mempunyai
pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antra ribuan jiwa
2. Ada
pertalian perasaan yang sama tentang kesukuaan terhadap kebiasaan
3. Cara
berusaha (ekonomi) aalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi alam
sekitar seperti iklim, keadaan alam, kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang
bukan agraris adalah bersifat sambilan.
Ø
Pemimpin Desa
Desa dipimpin oleh seorang Kepala Desa
(Kades)
Wewenang Kepala Desa adalah :
1. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hal asal-usul desa
2. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa
3. Tugas pembantuan dari pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota
4. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa.
1. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hal asal-usul desa
2. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa
3. Tugas pembantuan dari pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota
4. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa.
Ø
Status Jabatan Kepala
Desa (Kades)
Kepala Desa memiliki status jabatan
sebagai pemimpin daerah atau desa tersebut
Ø Status
Kepegaiwaian Kepala Desa (Kades)
Kepala Desa memiliki
status kepegawaian bukan PNS (Pegawai Negeri Sipil)
Ø Proses
Pengangkatan Kepala Desa
Kepala Desa diangkat
melalui PILKADES (Pemilihan Kepala Desa) yang langsung diikuti oleh seluruh
warga desa yang akan dipimpinnya kelak. Pemilihannya diatur dengan Perda yang
berpedoman kepada Peraturan Pemerintah.
Ø Masa Jabatan Kepala Desa
Masa jabatan kepala
desa adalah 5 tahun dan apabila masa jabatannya sudah berakhir dapat dipilih
kembali dalam 1 periode
Ø Pembiayaan Pembangunan Desa
Dana yang digunakan
untuk pembiayaan pembangunan adalah berasal dari prakarsa masyarakat daerah itu
sendiri. Dapat juga berasal dari : Pendapatan Asli Desa, Bagi hasil pajak
daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, Bantuan dari pemerintah propinsi /
kabupaten / kota, dan Hibah / sumbangan dari pihak ketiga.
Ø Badan Perwakilan Desa (BPD)
Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga perwujudan demokrasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan desa. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa
bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah. Anggota BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga,
pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat
lainnya. Masa jabatan anggota BPD adalah 6 tahun dan dapat diangkat/diusulkan
kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya. Pimpinan dan Anggota BPD tidak
diperbolehkan merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan Perangkat Desa. BPD berfungsi
menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat.
v
KELURAHAN
Ø Arti dari Kelurahan
Kelurahan merupakan wilayah gabungan dari beberapa
Rukun Warga (RW). Pemerintahan di tingkat desa dan kelurahan merupakan unsur
pemerintahan yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Dalam menjalankan
semua perencanaan pembangunan di kelurahan terdapat Dewan Kelurahan (Dekel).
Dewan Kelurahan berfungsi sebagai pemberi masukan kepada lurah tentang rencana
pembangunan di wilayahnya.
Ø Ciri – Ciri Kelurahan
1)
Berada di kecamatan kota/ibukota kabupaten/kotamadya
2) Merupakan Satuan Perangkat Kerja Daerah
3) Pendanaan jadi satu dalam APBD
4) Tidak ada otonomi
5) Tidak ada demokrasi dalam pemilihan lurah. Lurah dipilih oleh Bupati/Walikota melalui Sekda
6) Bersifat administratif
7) Bukan bagian dr otonomi desa
2) Merupakan Satuan Perangkat Kerja Daerah
3) Pendanaan jadi satu dalam APBD
4) Tidak ada otonomi
5) Tidak ada demokrasi dalam pemilihan lurah. Lurah dipilih oleh Bupati/Walikota melalui Sekda
6) Bersifat administratif
7) Bukan bagian dr otonomi desa
Ø Fungsi Kelurahan
a. pelaksanaan kegiatan
pemerintahan kelurahan;
b. pemberdayaan
masyarakat;
c. pelayanan masyarakat;
d. penyelenggaraan
ketentraman dan ketertiban umum;
e. pemeliharaan prasarana
dan fasilitas pelayanan umum; dan
f. pembinaan lembaga
kemasyarakatan.
Ø Perangkat Kelurahan
serta jabatan fungsional.
Ø
Pemimpin Kelurahan
Kelurahan
dipimpin oleh seorang lurah berdasarkan Surat Keputusan
Bupati/Walikota atas usulan Camat dari Pegawai Negeri Sipil. Maka lurah
bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Camat.
Wewenang Lurah adalah :
1. Pelaksana kegiatan pemerintahan kelurahan
2. Pemberdayaan masyarakat
3. Pelayanan masyarakat
4. Penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum
5. Pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum
6. Pembinaan lembaga kemasyarakatan.
1. Pelaksana kegiatan pemerintahan kelurahan
2. Pemberdayaan masyarakat
3. Pelayanan masyarakat
4. Penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum
5. Pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum
6. Pembinaan lembaga kemasyarakatan.
Ø
Status Jabatan Lurah
Lurah memiliki status jabatan sebagai
perangkat pemerintahan kabupaten / kota yang melakukan tugas di kelurahan yang
dipimpinnya
Ø Status
Kepegaiwaian Lurah
Lurah memiliki status
kepegawaian sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil)
Ø Proses
Pengangkatan Lurah
Lurah dipilih
berdasarkan pilihan bupati / walikota
Ø Masa
Jabatan Lurah
Masa jabatan lurah
tidak dibatasi, dan disesuaikan dengan aturan pensiun PNS (umur 58 tahun)
Ø Pembiayaan
Pembangunan Kelurahan
Dana yang digunakan
untuk pembiayaan pembangunan adalah berasal dari APBD (Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah) Kabupaten/Kota yang dialokasikan sebagaimana perangkat
daerah ataupun dari bantuan pemerintah, pemerintah propinsi, pemerintah
kabupaten /kota dan bantuan pihak ketiga serta sumber-sumber lain yang sah dan
tidak mengikat
Ø
Dewan
Kelurahan
Dalam Perda
No. 5 tahun 2000 dinyatakan bahwa Dewan Kelurahan merupakan lembaga konsultatif
perwakilan Rukun Warga (RW), sebagai wahana partisipasi masyarakat di Kelurahan
dalam penyelenggaraan pemerintahan, sebagai perwujudan demokrasi di Kelurahan.
Lebih lanjut ditegaskan, Dewan Kelurahan merupakan mitra kerja Pemerintah
Kelurahan dalam penyelenggaraan pemrintahan dan pemberdayaan masyarakat.
v
KESIMPULAN
Perbedaan
|
Desa
|
Kelurahan
|
|
1
|
Pemimpin
|
Kepala Desa (Kades)
|
Lurah
|
2
|
Status Jabatan
|
Pemimpin daerah / desa tersebut
|
Perangkat pemerintahan kabupaten /
kota yang sedang bertugas di kelurahan tersebut
|
3
|
Status Kepegawaian
|
Bukan PNS
|
PNS
|
4
|
Proses Pengangkatan
|
Dipilih oleh rakyat melalui
PILKADES
|
Ditunjuk oleh bupati / walikota
|
5
|
Masa Jabatan
|
5 tahun dan dapat dipilih lagi
untuk 1 periode
|
Tidak dibatasi dan disesuaikan
dengan aturan pensiun PNS
|
6
|
Pembiayaan Pembangunan
|
Dana berasal dari prakarsa
masyarakat
|
Dana berasal dari APBD
|
Sebelum berlakunya UU Nomor 5/1979
tentang Pemerintahan Desa, yang berkaitan dengan ”penghasilan” atau ”imbalan”
bagi Kepala Desa dan Perangkat/Pamong Desa, dikenal tanah bengkok. Ada
bermacam-macam istilah dari tanah bengkok ini seperti tanah lungguh,
tanah pangarem-arem, dan tanah bercatu. Tanah bengkok ini
adalah tradisi yang diterapkan untuk menggaji Kepala Desa dan Perangkat/Pamong
Desa yang telah berjalan lama sekali, dan tanah bengkok ini sebagai bentuk
pengkaryaan atau kontra prestasi atau imbalan jasa orang yang menjadi Kepala
Desa dan Perangkat/Pamong Desa lainnya, yang diharapkan dengan adanya tanah ini
Kepala Desa dan perangkat/pamongnyamempunyai motivasi yang luas dalam membina
dan mengurus kepentingan masayarakat Desa umumnya.
Tanah
bengkok, menurut Hukum Adat merupakan tanah jabatan kepala desa.
Artinya dikenal ada hak keuntungan jabatan, ialah hak dari
seorang perangkat/pamong desa untuk memetik hasil atas tanah jabatannya, selama
ia memegang jabatan di suatu desa. Ia atau anak turunannya tidak boleh menjual
atau menggadaikan tanah itu. Hak itu berakhir jika ia turun dari jabatannya
atau selesai masa tugasnya dan jika ini terjadi, maka tanah itu kembali ke hak
peraturan desa, tegasnya, berpindah ke tangan penggantinya.
Dengan diberlakukannya UU 32/2004 dan PP 72/2005 diamanatkan bahwa Kepala Desa
dan Perangkat Desa diberi penghasilan tetap melalui APBDesa. Sebagai tindak
lanjut dari ketentuan perundang-undangan tentang Desa di atas, maka di Kabupaten
Purbalingga telah ditetapkan Perda 21/2007 tentang Kedudukan Keuangan Kepala
Desa dan Perangkat Desa. Pengaturan Penghasilan Kepala Desa dan Perangkat Desa
dalam Perda 21/2007 dengan cara memberikan penghasilan tetap setiap bulan dan
atau tunjangan lainnya sesuai dengan kemampuan desa yang ditetapkan dalam
APBDesa, yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan Kepala Desa dan
Perangkat Desa sehingga pada gilirannya akan meningkatkan kinerja pelaksanaan
tugasnya. Prinsip-prinsip dasar kedudukan keuangan Kepala Desa dan Perangkat
Desa antara lain bahwa penghasilan dibayarkan setiap bulan paling sedikit
sesuai Upah Minimum Kabupaten (UMK), ditetapkan dalam APBDesa, di samping
penghasilan tetap juga diberikan tunjangan dan tambahan penghasilan serta pemberian
penghargaan pada saat purna tugas atau pensiun. Khusus bagi Kepala Desa yang
habis masa jabatannya, maka diberikan bantuan dana kewirausahaan yang
diharapkan dapat menciptakan semangat berwirausaha bagi mantan Kepala Desa yang
telah purna tugas. Dengan adanya pengaturan hak-hak keuangan Kepala Desa dan
Perangkat Desa yang lebih baik, maka di samping akan meningkatkan kesejahteraan
juga diharapkan akan meningkatkan kinerja dan profesionalitas. Oleh karena itu
untuk merealisasikan hal ini setiap Pemerintahan Desa dituntut untuk
meningkatkan transparansi, akuntabilitas dan profesionalitas pengelolaan
potensi dan sumber daya desa yang dimilikinya. Untuk itu maka guna memberikan
kesiapan kepada Pemerintah Kabupaten dan Desa dalam mengimplementasikan
Peraturan Daerah ini diberikan jangka waktu selama 2 (dua) tahun untuk
mempersiapkan penataan perangkat regulasi dan sumber keuangan desa.
Persiapan-persiapan tersebut dilaksanakan melalui beberapa tahapan
inventarisasi potensi, inventarisasi alokasi anggaran dan penyusunan
regulasi/petunjuk teknis/operasional baik di tingkat Kabupaten maupun Desa.
Dalam masa
transisi pengaturan kedudukan keuangan kepala desa dan perangkat desa dari
aturan lama ke aturan baru, kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah Kabupaten Purbalingga
sangat hati-hati dan diupayakan tidak menimbulkan gejolak. Oleh karena itu,
pada tahapan ini masih diberlakukan pemberian penghasilan melalui bengkok,
namun jumlah peghasilan bengkok tersebut dimasukkan/dicatat dalam APBDesa.
Selain penghasilan yang berasal dari tanah kas desa/bengkok, kepada seluruh
Kepala Desa dan Perangkat Desa diberi Tunjangan Penghasilan Aparat Pemerintah
Desa (TPAPD) yang dibebankan pada APBD, dan khusus bagi desa-desa non
bengkok/bengkok minim diberi Tunjangan Kesejahteraan Aparat Pemerintah Desa
Non-Bengkok/Berbengkok Minim.
Mendasarkan
pada regulasi tentang penghasilan keuangan Kepala Desa dan Perangkat Desa yang
baru, nantinya tanah bengkok harus dialihkan statusnya menjadi tanah (kas)
desa, sehingga hasilnya bukan semata-mata manjadi hak kepala desa atau
perangkat desa, tetapi dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain, yang
berhubungan dengan penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Namun demikian, dalam
tataran implementasi di lapangan, hal ini memang dirasakan sangat sulit, antara
lain disebabkan karena beberapa hal seperti :
- Perubahan regulasi dari pemberian bengkok ke penghasilan adalah berkaitan dengan perubahan budaya, tradisi dan adat istiadat desa yang telah bertahun-tahun berlaku/diterapkan;
- Pemberian bengkok merupakan penghargaan atas pengabdiannya dalam suatu masyarakat yang bercorak ”paguyuban” (gemeinschaft), sedangkan pengertian ”penghasilan” atau ”upah/imbalan” adalah merupakan penghargaan bagi ”pekerja/buruh” yang mengarah pada masyarakat yang bercorak ”patembayan” (gessellschaft). Kata ”penghasilan” bagi masyarakat desa dirasakan lebih ”merendahkan martabat” sehingga hal ini sulit diterima oleh mereka;
- Ukuran ”UMR” sangat sulit disetarakan dengan beban kerja dan tanggung jawab seseorang yang menjabat sebagai Kepala Desa atau Perangkat Desa;
Untuk
merealisasikan ketentuan-ketentuan sebagaimana diamanatkan dalam PP 72/2005,
diharapkan ada petunjuk yang jelas dan tegas tentang tata-cara pengalihan tanah
bengkok menjadi tanah (kas) desa serta standarisasi penghasilan dan tunjangan
(meskipun sudah ada ketentuan UMR) yang diberikan, paling tidak untuk desa-desa
di wilayah Provinsi Jawa Tengah. Standarisasi yang diperlukan adalah yang
berkaitan dengan tata-cara mengukur beban kerja, karena hal ini akan berkaitan
dengan tata-cara penghitungan penghasilan dan tunjangan; prosentase minimal dan
maksimal beban belanja pegawai dalam APBDesa serta besarnya bantuan untuk
penghasilan bagi desa-desa yang kurang/tidak mampu APBDesa-nya.
Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian
khusus dari Pemerintah Provinsi yaitu perlunya alokasi anggaran dari APBD
Provinsi untuk :
- peningkatan kemampuan desa, terutama yang berkaitan dengan dukungan peningkatan kesejahteraan Kepala Desa dan Perangkat Desa (Tunjangan Penghasilan, Tunjangan Kesejahteraan, Tunjangan Purna Bhakti dsb);
- pengadaan tanah kas desa (TKD) untuk desa-desa yang TKDnya minim guna menunjang peningkatan penghasilan/kesejahteraan Kepala Desa dan Perangkat Desa;
- pemberian reward kepada desa berprestasi berupa dana stimulan untuk pembangunan sarana dan prasarana pemerintahan desa atau modal pengembangan BUMDesa/Lembaga Keuangan Desa.
SUMBER DAN PENGGUNAAN DANA PADA PEMERINTAH DAERAH
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, yang mana daerah provinsi
tersebut terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Dengan adanya
otonomi daerah, setiap daerah mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat,
termasuk dalam menyelenggarakan fungsinya masing-masing.Pemerintah pada hakikatnya mengemban tiga fungsi utama yakni fungsi distribusi, fungsi stabilisasi, dan fungsi alokasi. Fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi pada umumnya lebih efektif dan tepat dilaksanakan oleh Pemerintah pusat, sedangkan fungsi alokasi lebih tepat jika dilaksanakan oleh Pemerintahan Daerah yang lebih mengetahui kebutuhan, kondisi, dan situasi masyarakat setempat. Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah inilah, penyerahan, pelimpahan, dan penugasan urusan pemerintahan kepada Daerah secara nyata dan bertanggung jawab harus diikuti dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional secara adil, termasuk pembagian kewenangan dalam pengelolaan keuangan negara dan perimbangan keuangan antara Pemerintah pusat dan Pemerintahan Daerah.
Sama halnya dengan wujud keuangan negara pada pemerintah pusat yang dapat dilihat dari LKPP, wujud keuangan negara pada pemerintah daerah juga dapat dilihat pada Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) masing-masing pemerintah daerah baik pemerintah Provinsi maupun pemerintah Kabupaten/Kota, karena sebagaimana informasi yang terdapat pada LKPP, dalam LKPD juga memberikan informasi tenteng aset, utang dan ekuitas pemerintah daerah serta pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah.
Pada dasarnya wujud keuangan negara pada pemerintah pusat hampir sama dengan wujud keuangan negara pada pemerintah daerah. Hal ini terlihat dari komponen atau klasifikasi aset, utang, ekuitas, belanja dan pembiayaan negara pada pemerintah pusat yang sama dengan komponen atau klasifikasi aset, utang, ekuitas, belanja dan pembiayaan daerah pada pemerintah daerah. Namun, perbedaannya terletak pada struktur pendapatan antara pendapatan negara dan pendapatan daerah. Jika komponen pendapatan negara pada pemerintah pusat yang tergambarkan dalam APBN terdiri dari pendapatan perpajakan, pendapatan negara bukan pajak dan pendapatan hibah, berbeda dengan komponen pendapatan daerah sebagaimana pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yaitu terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan Yang Sah.
A. PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD)
Pendapatan Daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih, sedangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari pelaksanaan hak dan kewajiban pemerintah daerah, serta pemanfaatan potensi atau sumber daya daerah, baik yang dimiliki oleh Pemerintah daerah maupun yang terdapat di wilayah daerah bersangkutan, yang mana pemungutannya merupakan tanggung jawab pemerintah daerah.
PAD bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas Desentralisasi, yang mana Komponennya terdiri dari: Pajak Daerah, Retribusi Daerah, hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah.
1. Pajak Daerah
Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah yang berlaku saat ini adalah UU No. 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Dalam Undang-Undang tersebut pajak daerah dibagi menjadi 2 jenis, yaitu pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota. Yang termasuk pajak daerah untuk provinsi adalah:
(a) Pajak Kendaraan Bermotor;
(b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
(c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
(d) Pajak Air Permukaan;
(e) Pajak Rokok.
Sedangkan yang termasuk pajak daerah untuk kabupaten/kota terdiri atas:
(a) Pajak Hotel;
(b) Pajak Restoran;
(c) Pajak Hiburan;
(d) Pajak Reklame;
(e) Pajak Penerangan Jalan;
(f) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
(g) Pajak Parkir;
(h) Pajak Air Tanah;
(i) Pajak Sarang Burung Walet;
(j) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan dan Perkotaan;
(k) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Berkaitan dengan pemungutan pajak daerah, pemerintah daerah diberikan kebebasan untuk menentukan tarif pajak daerah sesuai keputusan bersama antara pemerintah daerah dengan DPRD, sepanjang tidak melebihi batas maksimum yang telah ditetapkan. Selain itu, Pemerintah Daerah juga tidak dibenarkan untuk memungut pajak daerah selain pajak daerah yang telah ditetapkan pada UU No. 28 Tahun 2009 tersebut. Sedangkan untuk melakukan pemungutan pendapatan daerah yang bersumber dari pajak daerah merupakan wewenang dan tanggungjawab Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) atau Biro Keuangan pada Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota masing-masing.
2. Retribusi Daerah
Retribusi daerah adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. Perbedaan utama antara pajak daerah dan retribusi daerah terletak pada imbal jasanya. Pada saat membayar pajak daerah, pihak yang membayar pajak (wajib pajak) tidak langsung mendapatkan imbalan pada saat melakukan pembayaran, berbeda dengan retribusi daerah. Pembayaran retribusi daerah dapat dilakukan jika pembayar retribusi (wajib retribusi) telah mendapatkan pelayanan atau keperluannya telah difasilitasi oleh pemerintah daerah.
Objek retribusi adalah jasa umum, jasa usaha dan perizinan tertentu yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah. Untuk itu, retribusi dapat digolongkan ke dalam 3 jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha dan Retribusi Perizinan Tertentu.
(a) Retribusi Jasa Umum
Objek Retribusi Jasa Umum adalah pelayanan yang disediakan atau diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan, yang antara lain terdiri dari: Retribusi Pelayanan Kesehatan, Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan, Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil, Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat, Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum, Retribusi Pelayanan Pasar, Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor, Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran, Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta, Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus, Retribusi Pengolahan Limbah Cair, Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang, Retribusi Pelayanan Pendidikan, dan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi.
Selain jenis Retribusi diatas, baik pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota dapat menetapkan retribusi jasa umum lainnya, sepanjang telah ditetapkan pada peraturan pemerintah dan memenuhi kriteria sebagai berikut:
- Retribusi Jasa Umum bersifat bukan pajak dan bersifat Retribusi Jasa Usaha atau Retribusi Perizinan Tertentu;
- jasa yang bersangkutan merupakan kewenangan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi;
- jasa tersebut memberi manfaat khusus bagi orang pribadi atau Badan yang diharuskan membayar retribusi, disamping untuk melayani kepentingan dan kemanfaatan umum;
- jasa tersebut hanya diberikan kepada orang pribadi atau Badan yang membayar retribusi dengan memberikan keringanan bagi masyarakat yang tidak mampu;
- Retribusi tidak bertentangan dengan kebijakan nasional mengenai penyelenggaraannya;
- Retribusi dapat dipungut secara efektif dan efisien, serta merupakan salah satu sumber pendapatan Daerah yang potensial; dan
- pemungutan Retribusi memungkinkan penyediaan jasa tersebut dengan tingkat dan/atau kualitas pelayanan yang lebih baik.
(b) Retribusi Jasa Usaha
Objek Retribusi Jasa Usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial yang meliputi:
- Pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan Daerah yang belum dimanfaatkan secara optimal; dan/atau
- Pelayanan oleh Pemerintah Daerah sepanjang belum disediakan secara memadai oleh pihak swasta.
Jenis Retribusi Jasa Usaha antara lain terdiri dari: Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah, Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan, Retribusi Tempat Pelelangan, Retribusi Terminal, Retribusi Tempat Khusus Parkir, Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa, Retribusi Rumah Potong Hewan, Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan, Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga, Retribusi Penyeberangan di Air, dan Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.
Baik Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota dapat mengembangkan Retribusi Jasa Usaha, sepanjang telah ditetapkan pada peraturan pemerintah dan memenuhi kriteria sebagai berikut:
- Retribiusi Jasa Usaha bersifat bukan pajak dan bersifat bukan Retribusi Jasa Umum atau Retribusi Perizinan Tertentu; dan
- jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersial yang seyogyanya disediakan oleh sektor swasta tetapi belum memadai atau terdapatnya harta yang dimiliki/dikuasai Daerah yang belum dimanfaatkan secara penuh oleh Pemerintah Daerah.
(c) Perizinan Tertentu
Objek Retribusi Perizinan Tertentu adalah pelayanan perizinan tertentu oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Jenis Retribusi Perizinan Tertentu antara lain terdiri dari: Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol, Retribusi Izin Gangguan (HO), Retribusi Izin Trayek, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan.
Pemerintah daerah diperbolehkan untuk menetapkan retribusi perizinan tertentu lainnya, sepanjang telah ditetapkan pada peraturan pemerintah dan memenuhi kriteria sebagai berikut:
- perizinan tersebut termasuk kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka asas desentralisasi;
- perizinan tersebut diperlukan guna melindungi kepentingan umum; dan
- biaya yang menjadi beban Daerah dalam penyelenggaraan izin tersebut dan biaya untuk menanggulangi dampak negatif dari pemberian izin tersebut cukup besar sehingga layak dibiayai dari retribusi perizinan;
Sama halnya dengan pemungutan PNBP, pemungutan retribusi dapat dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selain DPPKAD, sepanjang masih dalam kewenangannya dan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi SKPD yang bersangkutan.
3. Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan.
Kekayaan daerah yang dipisahkan adalah bagian dari aset pemerintah daerah yang digunakan sebagai penyertaan modal pemerintah daerah pada perusahaan atau badan usaha, baik badan usaha milik negara/daerah (BUMN/BUMD) maupun badan usaha milik swasta atau kelompok usaha masyarakat. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan berupa bagian laba yang dibagikan (deviden) dari perusahaan atau badan usaha yang bersangkutan, yang dapat dikategorikan sebagai berikut:
(a) bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD;
(b) bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/BUMN; dan
(c) bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat.
4. Lain-lain PAD yang sah.
Lain-lain PAD yang sah merupakan pendapatan daerah yang tidak dapat dikategorikan sebagai pajak daerah, retribusi dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, namun masih termasuk dalam kategori PAD. Lain-lain PAD yang sah dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup:
(a) hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan;
(b) jasa giro;
(c) pendapatan bunga;
(d) penerimaan keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;
(e) penerimaan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah.
(f) penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah;
(g) pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan;
(h) pendapatan denda pajak daerah;
(i) pendapatan denda retribusi;
(j) pendapatan hasil eksekusi atas jaminan;
(k) pendapatan dari pengembalian;
(l) pendapatan dari pemanfaatan fasilitas sosial dan fasilitas umum;
(m) pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan;
(n) pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.
B. DANA PERIMBANGAN
Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah merupakan bagian pengaturan yang tidak terpisahkan dari sistem Keuangan Negara, dan dimaksudkan untuk mengatur sistem pendanaan atas kewenangan pemerintahan pusat yang diserahkan, dilimpahkan, dan ditugasbantukan kepada Daerah.
Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu Daerah dalam mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara Pusat dan Daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar-Daerah. Pendanaan tersebut menganut prinsip money follows function, yang mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan.
Dana Perimbangan merupakan pendanaan Daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Ketiga komponen Dana Perimbangan ini merupakan sistem transfer dana dari Pemerintah pusat serta merupakan satu kesatuan yang utuh.
1. Dana Bagi Hasil (DBH)
Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari APBN yang dibagihasilkan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu dengan memperhatikan potensi daerah penghasil. Pada dasarnya, selain dimaksudkan untuk menciptakan pemerataan pendapatan daerah, DBH juga bertujuan untuk memberikan keadilan bagi daerah atas potensi yang dimilikinya. Dalam hal ini, walaupun pendapatan atas pajak negara dan pendapatan yang berkaitan dengan sumber daya alam (SDA) merupakan wewenang pemerintah pusat untuk memungutnya, namun sebagai daerah penghasil, pemerintah daerah juga berhak untuk mendapatkan bagian atas pendapatan dari potensi daerahnya tersebut.
Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak negara, meliputi:
(a) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
(b) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan
(c) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.
Sedangkan Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam, meliputi:
(a) Sektor Kehutanan;
(b) Sektor Pertambangan umum;
(c) Sektor Perikanan;
(d) Sektor Pertambangan minyak bumi;
(e) Sektor Pertambangan gas bumi; dan
(f) Sektor Pertambangan panas bumi.
Besarnya proporsi dana bagi hasil antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tergantung dari jenis pendapatan. Begitupula antara pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota proporsinya tidak merata untuk setiap jenis pendapatan.
KEUANGAN DAERA
(sumber kompas dan wikipedia)


Tidak ada komentar:
Posting Komentar